Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Menurut Onghokham, tempe yang kaya protein telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.
Namun, nama 'tempe' pernah digunakan di daerah perkotaan Jawa, terutama Jawa tengah, untuk mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti 'mental tempe' atau 'kelas tempe' digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe. Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sering memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan, "Jangan menjadi bangsa tempe". Baru pada pertengahan 1960-an pandangan mengenai tempe ini mulai berubah.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Plastik (polietilena) mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung (diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Kopti) mulai menggantikan laru tradisional, dan kedelai impor mulai menggantikan kedelai lokal. Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih dari 28.000 produsen tempe dan tahu.
Standar teknis untuk tempe telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan yang berlaku sejak 9 Oktober 2009 ialah SNI 3144:2009. Dalam standar tersebut, tempe kedelai didefinisikan sebagai "produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe".
Data yang dikumpulkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan, sejak tahun 2004, angka kasus malnutrisi di Indonesia menurun, namun masih dalam golongan tinggi. Angka prevalensi anak malnutrisi Indonesia dengan tingkat pendapatan kotor per kapita (GDP) mencapai 42 persen. Ini masih memprihatinkan, apalagi jika dibandingkan dengan Srilanka, yang GDP-nya di bawah Indonesia, angka prevalensi malnutrisi anaknya hanya 18 persen.
Nyatanya, meski sudah 65 tahun merdeka, kesehatan anak dan ibu hamil di Indonesia masih menjadi tugas yang perlu dibenahi lebih lanjut. Memang, dalam beberapa hal sudah terjadi perbaikan, namun keberhasilan menahan laju penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi dan balita (AKB & AKABA) di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara lain. Kebanyakan masalah ini terjadi di daerah-daerah berekonomi rendah dan sulit digapai tenaga medis. Salah satu saluran yang bisa menjadi "alat" untuk menekan angka kematian anak dan ibu adalah bidan.
"Menjadi bidan membutuhkan dedikasi dan tanggung jawab besar, sekitar 60 persen kelahiran di Indonesia dibantu oleh bidan. Seringkali mereka diminta melakukan begitu banyak tugas yang di luar tanggung jawab mereka. Tak jarang, mereka diminta melewati bukit-bukit, menaiki sampan, dan medan berat lainnya untuk sampai ke pasien mereka," ujar Boris Bourdin, Presiden Direktur PT Sari Husada saat malam penghargaan Srikandi Award 2010, di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (21/12/2010).
Beberapa waktu lalu, PT Sari Husada dan Ikatan Bidan Indonesia menggelar sebuah acara bertajuk Srikandi Award, ajang untuk apresiasi bidan lewat dedikasi mereka kepada masyarakat sekitar tempat mereka bekerja. Salah seorang bidan yang mendapatkan apresiasi tersebut adalah Debora Harmi, bidan asal Semarang, Jawa Tengah. Ini program yang ia jalankan untuk membantu angkat kesehatan ibu dan anak di wilayah sekitarnya.
Gasem Sari, Semarang, Jawa Tengah adalah sebuah daerah kumuh di tengah kota Semarang. Mayoritas penduduknya miskin dan hanya bekerja sebagai buruh serabutan. Hal ini menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan nutrisi yang layak bagi anaknya. Dari pantauan bidan Debora Harmi yang bertugas di daerah Gasem Sari, terdapat 3 balita gizi buruk, 8 balita tergolong gizi kurang, dan 11 ibu dari ekonomi kurang mampu yang bersedia untuk dibina.
Melihat kondisi ini, beliau menginisiasikan program wirausaha tempe dan penanganan gizi. Selain bisa memperbaiki gizi masyarakat, tempe yang dihasilkan pun bisa dijual untuk menambah pemasukan keluarga.
Program dimulai dengan sosialisasi mengenai kegiatan yang akan dilakukan kepada warga, monitoring gizi ibu dan bayi serta pemberian multivitamin dan makanan tambahan (PMT) sebulan sekali. Bidan Debora juga mengadakan penyuluhan mengenai balita dan pelatihan memasak bagi para ibu di Garem Sari. Para warga yang kurang mampu juga diajarkan mengenai kebersihan pribadi dan kesehatan lingkungan serta kewirausahaan pembuatan tempe.
Dari 4 bulan pelaksanaan program, terbukti 11 orang balita mengalami peningkatan gizi. Sebanyak 10 orang ibu dari keluarga miskin yang mendapatkan pelatihan wirausaha tempe kini memiliki pemasukan ekonomi yang dapat meringankan beban keluarga. Atas peran bidan Debora dalam membantu meningkatkan ekonomi dan kesehatan di Garem Sari, yang selaras dengan Millenium Development Goals 4 (menurunkan angka kematian bayi), bidan Debora mendapatkan apresiasi sebagai juara pertama Srikandi Award 2010 untuk angka kematian anak (Millenium Development Goals 4).
sumber: wikipedia Indonesia dan KOMPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar